Selasa, 02 Juli 2013

Tugas hukum surat berharga



PENYELESAIAN SENGKETA OBLIGASI REKAPITULASI DALAM KASUS BLBI
I.                 LATAR BELAKANG
Liberalisasi perdagangan menuju era ekonomi global dan pasar bebas menghadirkan tantangan yang berat bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia karena di pasar bebas akan bertemu kekuatan-kekuatan yang tidak berimbang, yaitu negara-negara industry  dan negara-negara yang sedang berkembang. Kemampuan antara negara satu dengan negara yang lainnya tidaklah sama dan negara maju tentu memiliki kekuatan dan keunggulan yang lebih tinggi di banding dengan Negara-negara berkembang.
Menuju kesiapan Indonesia dalam laju pesatnya perkembangan ekonomi ini, Indonesia dituntut untuk mengimbangi arus kemajuan bidang ilmu tekhnologi, informasi, ekonomi  dan hukum pada pasar global. Inovasi dalam bidang IPTEK yang berfungsi untuk memudahkan manusia dalam beraktifitas, penyempurnaan dalam sistem informasi karena infornasi merupakan salah satu bidang yang krusial pada abad ini. Tak terkecuali meningkatkan daya tahan ekonomi nasional dari serangan ekonomi asing dalam negeri. Karena kuatnya potensi ekonomi global dan perdagangan bebas ini, tentulah antisipasi akibat dampak buruk aktivitas ekonomi perlu dijadikan perhatian lebih agar tidak menimbulkan korban – korban atau sengekta dalam arus invansi bisnis ini. Maka perlulah tercipta funsionalisasi sistem hukum nasional untuk mendapatkan perlindungan hukum yang efektif, efisien, serta adil.
Untuk dapat bersaing dalam dunia bisnis berskala global, tentu perlu dana yang cukup besar. Sehingga para pemilik perusahaan berlomba – lomba untuk menarik dana investor. Pelbagai macam cara untuk mendapatkan dana dari investor, tapi tentulah cara – cara tersebut telah diatur dalam ranah hukum. Salah satu dari cara – cara untuk menarik dana investor adalah dengan menerbitkan obligasi.
Obligasi adalah surat berharga tanda pengakuan hutang pada atau peminjaman uang dari masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang – kurangnya tiga tahun dengan memberikan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya telah ditentukan lebih dahulu oleh penerbitnya. Dalam definisi tersebut dpat dirinci unsur – unsur utama obligasi sebagai berikut  :
a.      Surat berharga, ini berarti pada obligasi itu tertulis sejumlah uang yang menjadi hak pemegang, hak tersebut dibuktikan dengan menguasai obligasi itu, dan obligasi itu dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.
b.     Tanda pengakuan hutang, ini berarti sama dengan aksep yang diatur dalam KUHD, setiap pemegang yang menunjukkan obligasi pada tanggal yang telah ditetapkan berhak  menerima sejumlah uang seperti y[1]ang tertulis pada obligasi dan sejumlah bunga yang diperjanjikan penerbitnya.
c.      Bentuk tertentu, artinya memenuhi syarat – syarat formal seperti yang diatur oleh undang  undang(KUHD.
d.     Jangka waktu tertentu, ini memnunjukkan bahwa obligasi merupakan surat kredit, yang hanya dapat dilunasi setelah jangka waktu yang ditetapkan berakhir.
e.      Penerbit, setip penerbit obligasi adalah badan hukum, yaitu perseroan terbatas yang bergerak di bidang usaha perbankan, lembaga keuangan non – bank, atau usaha pembangunan vital.1
Jenis obligasi di Indonesia

Secara umum jenis obligasi dapat dilihat dari penerbitnya, yaitu, Obligasi perusahaan dan Obligasi pemerintah. Obligasi pemerintah sendiri terdiri dalam beberapa jenis, yaitu:
1.     Obligasi Rekapitulasi, diterbitkan guna suatu tujuan khusus yaitu dalam rangka Program Rekapitalisasi Perbankan;
2.     Surat Utang Negara (SUN), diterbitkan untuk membiayai defisit APBN;
3.     Obligasi Ritel Indonesia (ORI), sama dengan SUN, diterbitkan untuk membiayai defisit APBN namun dengan nilai nominal yang kecil agar dapat dibeli secara ritel;
4.     Surat Berharga Syariah Negara atau dapat juga disebut "obligasi syariah" atau "obligasi sukuk", sama dengan SUN, diterbitkan untuk membiayai defisit APBN namun berdasarkan prinsip syariah.[2]
II.               PERMASALAHAN
Dari uraian singkat diatas, dalam bahasan kali ini yang akan dikupas lebih lanjut adalah masalah obligasi rekapitulasi yang terkait paut dengan kasus BLBI. Untuk itu perlu diberikan adanya penjabaran singkat dari kasus BLBI yakni sebagai berikut :
Kasus BLBI bermula dari terjadinya gejolak moneter, yaitu merosotnya secara tajam kepercayaan terhadap rupiah, mulai sejak Juli 1997 yang diikuti dengan rumor penutupan perbankan yang kalah kliring. Pemerintah pada 1 November 1997, menutup 16 bank. Tindakan pemerintah ini mengakibatkan psikologi masyarakat terhadap kepercayaan perbankan menurun drastis, sehingga masyarakat beramai ramai melakukan rush menarik simpanannya dari berbagai bank yang diisukan atau dipersepsikan akan ditutup oleh Pemerintah.
       Akibat kepanikan masyarakat tersebut, untuk mengatasinya termasuk untuk menjaga jangan sampai collapse sistem perbankan nasional, bank-bank akhirnya meminta bantuan fasilitas Bank Indonesia sebagai lender of the last resort. Namun capital flight tetap terjadi, BLBI meningkat karena rush terus menerus, dan untuk menutupinya Bank Indonesia tetap menyuntikkan pinjaman kepada perbankan, sehingga jumlah perbankan yang bersaldo negatif bertambah banyak.
        Berbagai skema dilakukan oleh Pemerintah untuk menyelamatkan sistem perbankan nasional. Di antara skema-skema tersebut adalah PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), penerbitan Surat Utang Pemerintah untuk mengkonversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara Pemerintah, pemberlakuan klausul release and discharge pada 21 September 1998, yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum asalkan sudah membayar utangnya melalui penyerahan asset hingga memperkenalkan obligasi rekap. Namun belakangan terungkap bahwa banyak ditengarai bahwa pemberian BLBI oleh Pemerintah tidak digunakan sesuai peruntukannya, yang potensial mengandung hal-hal yang bersifat kejahatan perbankan dan berkualifikasi pidana. Demikian juga pemberian release and discharge yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum, oleh sementara kalangan dianggap telah melampaui kewenangan perdata untuk penyelesaian kasus yang bersifat pidana.
       Solusi yang diambil Pemerintah sebagai lanjutan dari kebijakan BLBI adalah dengan menerbitkan obligasi rekap. Obligasi Rekap adalah penambahan penyertaan modal pemerintah di perbankan dengan memperlakukan penyertaan tersebut seperti pinjaman Pemerintah kepada perbankan (sisi debet) dan Penyertaan Modal Pemerintah (sisi kredit).  Atas penempatan obligasi tersebut, Pemerintah menjadi pihak berhutang kepada perbankan yang harus membayar bunga obligasi secara reguler kepada perbankan. Pemerintah berharap bahwa dengan obligasi rekap tersebut, perbankan memiliki kemampuan untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat, membiayai operasional perusahaan, dan apabila telah beruntung dari selisih spread (selisih bunga simpanan yang diterima dengan yang bunga pinjaman yang disalurkan), pada waktunya perbankan akan mengembalikan Penyertaan Modal Pemerintah. Namun dalam perjalanan waktu, ternyata penyertaan Pemerintah dalam bentuk obligasi rekap justru menjadi menjerat Pemerintah. Pemerintah terikat untuk membayar bunga obligasi secara reguler dan melunasinya ke perbankan yang tercermin dalam beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Sebaliknya, bunga maupun cicilan obligasi rekap yang diperoleh perbankan dari topangan APBN, justru dipergunakan tidak  sesuai peruntukannya untuk penyaluran ke masyarakat dalam fungsi intermediaries perbankan. Dana segar yang diterima perbankan yang telah menyalah gunakan BLBI, malah dilakukan penyalah gunaan kedua dengan memanfaatkan dana segar tersebut untuk keperluan sendiri dan afiliasinya yang tidak berkontribusi kepada penyehatan perbankan.[3]
            Permasalahan diatas adalah menyangkut permasalahan tentang suatu kepastian hukum. Dibawa ke ranah manakah suatu sengketa obligasi rekapitulasi itu? Karena kasus diatas tidak hanya murni kasus perdata saja, namun mencakup tindak pidana. Lebih tepatnya penyelesaian sengketa yang manakah yang mampu menjadikan solusi bagi kasus obligasi rekapitulasi BLBI ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu kita harus paham konsep – konsep hukum perdata, hukum pidana, dan hukum pidana korupsi.
a.      Hukum Perdata
Hukum perdata (burgerlijkrecht) adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan. Hukum perdata berisi aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.
        Hukum perdata menganut asas kebebasan berkontrak yang terletak dalam buku III KUH Perdata pada bagian 3 Tentang Akibat Suatu perjanjian. Asas ini termaktub dalam pasal 1338 yakni “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”  Asas tersebut sampai pada tingkat tertentu memberikan kebebasan (partij authonomij) kepada para pihak untuk merumuskan kesepakatan apapun yang mengikat para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan kepatutan dan kebiasaan, serta  dilakukan dengan itikad baik serta tidak mengandung cacat tersembunyi. Kebebasan para pihak tersebut tidak akan mengikat bagi publik apabila ternyata bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Seperti yang termuat dalam pasal 1339 BW yakni “ Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang – undang.”
       Dalam doktrin keputusan hukum perdata berlaku suatu asas yaitu bahwa suatu keputusan yang diambil dalam rangka pelaksanaan tidak dapat dituntut sepanjang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, prudent, dalam lingkungan kewenangannya serta tidak bertentangan dengan kaidah hukum memaksa. Lingkup tugas manajemen dalam lingkup jabatannya yang harus dilakukan dengan kejujuran dan ketekunan yang pantas, oleh Rai Widjaya dikenal dengan :[4]
1.     Tugas yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duties, trust and confidence
2.      Tugas yang berdasarkan kecakapan, kehati-hatian dan ketekunan (duties of skill, care and diligence)
3.     Tugas yang berdasarkan ketentuan undang-undang (statutory duties)
        Dalam dunia bisnis, pendekatan perdata lebih dikedepankan daripada pendekatan pidana, sepanjang tingkat pelanggaran dan kerugian yang diakibatkan suatu perbuatan tersebut masih dapat dikelola. Ketika satu pihak melakukan tindakan yang merugikan pihak lainnya dalam hubungan bisnis, maka akan diselesaikan dengan cara pemberian ganti rugi atau kompensasi kepada pihak yang dirugikan, pola penyelesaian dengan sanksi perdata bertujuan untuk melindungi kepentingan masing-masing pihak. Pendekatan perdata lebih melihat kepada suatu pemulihan hubungan hukum dari akibat suatu kesalahan, dikenal dengan pendekatan dengan konsep keadilan komutatif. Konsep keadilan komutatif lebih banyak terdapat pada hubungan perikatan keperdataan, yang mencari penyelesaian suatu sengketa dengan win-win solution biasanya melalui lembaga arbitrase.
Dalam kasus Terkait dengan kasus BLBI di atas, BUMN atau Badan Hukum lainnya yang didirikan untuk kepentingan bisnis dalam beroperasinya adalah tunduk kepada hukum perdata. Bahwa dalam kontrak bisnis adalah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak seperti yang dicantumkan pasal 1338 BW. itikad baik dianggap ada pada para pihak sampai terbukti sebaliknya, serta apabila suatu prestasi yang diperjanjikan tidak dapat dipenuhi, maka akan dituntut wanprestasi dengan berbagai alternatif untuk memenuhinya. Karena syarat adanya wanprestasi adalah adanya suatu perjanjian terlebih dahulu. Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pakar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut  pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada debitur.
Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga. Pengertian bunga di sini adalah hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan atau dibayangkan oleh kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi.
Kewajiban debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada saat dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu yang disampaikan oleh kreditur ke debitur (pasal 1238 jo Pasal 1243 KUHPerdata). 
Jadi, dalam hal ini maka obligator dapat dikenai wanprestasi karena hakikatnya obligasi rekapitulasi termasuk dalam kaidah hutang – piutang, dimana para peminjam uang tetap diharuskan membayar hutangnya dalam jangka waktu tertentu.
b.     Hukum Pidana
Dalam memasuki ranah hukum pidana, Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan-perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex specialis)
Penyelesaian sengketa dengan penjatuhan sanksi pidana tidak lain bertujuan untuk pencegahan (Preventif) yaitu pencegahan terjadinya pelanggaran norma-norma.  Tujuan lainnya ialah Social Control yaitu fungsi hukum pidana di sini sebagai Subsidair. Diadakan apabila usaha-usaha yang lain kurang memadai. Hal ini membedakan dengan hukum-hukum yang lain, dan hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang diakui dalam hukum. Dalam hal ini hukum pidana dianggap sebagai ultimum remedium atau obat terakhir.
       Doktrin hukum pidana yang dikenal secara universal, yakni  hukum pidana sebagai ultimum remedium,  artinya penggunaan hukum pidana merupakan pilihan terakhir dalam mencegah dan menanggulangi perilaku kriminal di dalam masyarakat. Penerapan ultimum remedium ini dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, mengingat sanksi pidana itu keras dan tajam jadi selalu diusahakan menjadi pilihan terakhir setelah sanksi lain dirasakan kurang. Namun memang dalam perkembangannya penerapan ultimum remedium ini mengalami kendala-kendala karena apabila suatu perbuatan sudah dianggap benar-benar merugikan kepentingan negara maupun rakyat baik menurut UU yang berlaku maupun menurut perasaan sosiologis masyarakat, maka justru sanksi pidanalah yang menjadi pilihan utama (premium remedium). [5]
Apabila terkaitpaut dengan kasus obligasi rekapitulasi diatas, maka dalam ranah hukum pidana obligator yang tidak mampu membayar akan dikenakan pasal mengenai penggelapan yakni pasal 372 KUHP bahwa barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
Kasus obligasi rekapitulasi BLBI dapat dikenakan pasal 372 KUHP karena memenuhi unsur – unsur :
1.     Dengan sengaja atau melawan hukum
Kasus tersebut jelas memenuhi unsur ini, karena aliran dana dari obligasi rekapitulasi tidak digunakan sebagaimana mestinya.
2.     Memiliki
3.     Barang atau sesuatu
4.     Yang seleuruhnya atau sebagian
5.     Adalah kepunyaan orang lain
6.     Tetapi yang ada dalam kekuasaannya
7.     Bukan karena kejahatan
Unsur ke-2 sampai ke -6 diatas adalah dalam kasus obligasi rekapitulasi, terkait karena dalam obligasi rekapitulasi, obligatur mempunyai suatu bentuk hutang terhadap penerbit obligasi yakni pemerintah.
III.             PENUTUP dan KESIMPULAN
Telah diuraian sedikit banyak mengenai kasus obligasi rekapitulasi dan konsep – konsep hukum pidana maupun perdata untuk menganalisa kasus tersebut. menurut pendapat saya, penyelesaian sengketa menurut hukum pidana-lah yang mampu memberikan solusi yang tepat dalam penyelesaian sengketa diatas. Ditinjau dari ranah hukum perdata, kasus obligasi rekapitulasi ini dapat dikenakan tuntutan wanprestasi, sehingga nantinya konsekuensi yuridis dari gugatan wanprestasi kurang maksimal untuk mecapai keadilan. Apabila dibawa ke ranah hukum pidan,  yang memiliki sifat ultimatum remedium, tetapi juga sifat hukum pidana yang berseberangan dengan sifat hukum perdata (win – win solution) sifat hukum pidana adalah win loss solution. Karena kerugian negara yang timbul dari sengketa ini sangat besar, dana mencapai milyaran rupiah. Ultimatum remedium dari hukum pidana sendiri memberi penyadaran pada pelaku kejahatan bisnis dan memulihkan kerugian akibat kejahatan bisnis tersebut (ultimum remedium). Karena menurut pendapat saya, efek jera dalam hukum pidanapun tidak mempunyai dampak yang sangat signifikan. Pelaku pidana yakni para obligator harus disadarkan akan tindakan yang dilakukannya serta akan menimbulkan rasa malu, itu lebih efektif dibanding efek jera lalu kerugian negara dapat diganti.










IV.            DAFTAR PUSTAKA
1.     Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( Burgelijk Wetboek)
2.     Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
3.     Muhammad, Prof. Abdulkadir, S.H, Hukum Dagang tentang Surat – Surat Berharga,      PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007
6.     I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007,
7.     Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi,  Alumni, Bandung, Alumni.

















[1] Muhammad, Prof. Abdulkadir, S.H, Hukum Dagang tentang Surat – Surat Berharga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Obligasi
[3] http://maspurba.wordpress.com/2009/12/05/kasus-bantuan-likuiditas-bank-indonesia/
[4] I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007,
[5] Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi,  Alumni, Bandung, Alumni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar