PENYELESAIAN SENGKETA OBLIGASI
REKAPITULASI DALAM KASUS BLBI
I.
LATAR BELAKANG
Liberalisasi
perdagangan menuju era ekonomi global dan pasar bebas menghadirkan tantangan
yang berat bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia karena di pasar
bebas akan bertemu kekuatan-kekuatan yang tidak berimbang, yaitu negara-negara
industry dan negara-negara yang sedang
berkembang. Kemampuan antara negara satu dengan negara yang lainnya tidaklah
sama dan negara maju tentu memiliki kekuatan dan keunggulan yang lebih tinggi
di banding dengan Negara-negara berkembang.
Menuju
kesiapan Indonesia dalam laju pesatnya perkembangan ekonomi ini, Indonesia
dituntut untuk mengimbangi arus kemajuan bidang ilmu tekhnologi, informasi,
ekonomi dan hukum pada pasar global.
Inovasi dalam bidang IPTEK yang berfungsi untuk memudahkan manusia dalam
beraktifitas, penyempurnaan dalam sistem informasi karena infornasi merupakan
salah satu bidang yang krusial pada abad ini. Tak terkecuali meningkatkan daya
tahan ekonomi nasional dari serangan ekonomi asing dalam negeri. Karena kuatnya
potensi ekonomi global dan perdagangan bebas ini, tentulah antisipasi akibat
dampak buruk aktivitas ekonomi perlu dijadikan perhatian lebih agar tidak
menimbulkan korban – korban atau sengekta dalam arus invansi bisnis ini. Maka
perlulah tercipta funsionalisasi sistem hukum nasional untuk mendapatkan
perlindungan hukum yang efektif, efisien, serta adil.
Untuk
dapat bersaing dalam dunia bisnis berskala global, tentu perlu dana yang cukup
besar. Sehingga para pemilik perusahaan berlomba – lomba untuk menarik dana
investor. Pelbagai macam cara untuk mendapatkan dana dari investor, tapi
tentulah cara – cara tersebut telah diatur dalam ranah hukum. Salah satu dari
cara – cara untuk menarik dana investor adalah dengan menerbitkan obligasi.
Obligasi
adalah surat berharga tanda pengakuan hutang pada atau peminjaman uang dari
masyarakat dalam bentuk tertentu, untuk jangka waktu sekurang – kurangnya tiga
tahun dengan memberikan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya telah ditentukan
lebih dahulu oleh penerbitnya. Dalam definisi tersebut dpat dirinci unsur – unsur
utama obligasi sebagai berikut :
a. Surat
berharga, ini berarti pada obligasi itu tertulis sejumlah uang yang menjadi hak
pemegang, hak tersebut dibuktikan dengan menguasai obligasi itu, dan obligasi
itu dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.
b. Tanda
pengakuan hutang, ini berarti sama dengan aksep yang diatur dalam KUHD, setiap
pemegang yang menunjukkan obligasi pada tanggal yang telah ditetapkan
berhak menerima sejumlah uang seperti yang
tertulis pada obligasi dan sejumlah bunga yang diperjanjikan penerbitnya.
c. Bentuk
tertentu, artinya memenuhi syarat – syarat formal seperti yang diatur oleh
undang undang(KUHD.
d. Jangka
waktu tertentu, ini memnunjukkan bahwa obligasi merupakan surat kredit, yang
hanya dapat dilunasi setelah jangka waktu yang ditetapkan berakhir.
e. Penerbit,
setip penerbit obligasi adalah badan hukum, yaitu perseroan terbatas yang
bergerak di bidang usaha perbankan, lembaga keuangan non – bank, atau usaha
pembangunan vital.1
Jenis obligasi di Indonesia
Secara umum jenis obligasi dapat dilihat dari
penerbitnya, yaitu, Obligasi perusahaan dan Obligasi pemerintah. Obligasi
pemerintah sendiri terdiri dalam beberapa jenis, yaitu:
1. Obligasi
Rekapitulasi, diterbitkan guna suatu tujuan khusus yaitu dalam rangka Program
Rekapitalisasi Perbankan;
2. Surat
Utang Negara (SUN), diterbitkan untuk membiayai defisit APBN;
3. Obligasi
Ritel Indonesia (ORI), sama dengan SUN, diterbitkan untuk membiayai defisit
APBN namun dengan nilai nominal yang kecil agar dapat dibeli secara ritel;
4. Surat
Berharga Syariah Negara atau dapat juga disebut "obligasi syariah"
atau "obligasi sukuk", sama dengan SUN, diterbitkan untuk membiayai
defisit APBN namun berdasarkan prinsip syariah.
II.
PERMASALAHAN
Dari
uraian singkat diatas, dalam bahasan kali ini yang akan dikupas lebih lanjut
adalah masalah obligasi rekapitulasi yang terkait paut dengan kasus BLBI. Untuk
itu perlu diberikan adanya penjabaran singkat dari kasus BLBI yakni sebagai
berikut :
Kasus
BLBI bermula dari terjadinya gejolak moneter, yaitu merosotnya secara tajam
kepercayaan terhadap rupiah, mulai sejak Juli 1997 yang diikuti dengan rumor
penutupan perbankan yang kalah kliring. Pemerintah pada 1 November 1997,
menutup 16 bank. Tindakan pemerintah ini mengakibatkan psikologi masyarakat
terhadap kepercayaan perbankan menurun drastis, sehingga masyarakat beramai
ramai melakukan rush menarik simpanannya dari berbagai bank yang diisukan atau
dipersepsikan akan ditutup oleh Pemerintah.
Akibat kepanikan masyarakat tersebut,
untuk mengatasinya termasuk untuk menjaga jangan sampai collapse sistem
perbankan nasional, bank-bank akhirnya meminta bantuan fasilitas Bank Indonesia
sebagai lender of the last resort. Namun capital flight tetap terjadi, BLBI
meningkat karena rush terus menerus, dan untuk menutupinya Bank Indonesia tetap
menyuntikkan pinjaman kepada perbankan, sehingga jumlah perbankan yang bersaldo
negatif bertambah banyak.
Berbagai skema dilakukan oleh
Pemerintah untuk menyelamatkan sistem perbankan nasional. Di antara skema-skema
tersebut adalah PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), penerbitan Surat
Utang Pemerintah untuk mengkonversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara
Pemerintah, pemberlakuan klausul release and discharge pada 21 September 1998,
yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum asalkan sudah membayar utangnya
melalui penyerahan asset hingga memperkenalkan obligasi rekap. Namun belakangan
terungkap bahwa banyak ditengarai bahwa pemberian BLBI oleh Pemerintah tidak
digunakan sesuai peruntukannya, yang potensial mengandung hal-hal yang bersifat
kejahatan perbankan dan berkualifikasi pidana. Demikian juga pemberian release
and discharge yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum, oleh sementara
kalangan dianggap telah melampaui kewenangan perdata untuk penyelesaian kasus
yang bersifat pidana.
Solusi yang diambil Pemerintah sebagai
lanjutan dari kebijakan BLBI adalah dengan menerbitkan obligasi rekap. Obligasi
Rekap adalah penambahan penyertaan modal pemerintah di perbankan dengan
memperlakukan penyertaan tersebut seperti pinjaman Pemerintah kepada perbankan
(sisi debet) dan Penyertaan Modal Pemerintah (sisi kredit). Atas penempatan obligasi tersebut, Pemerintah
menjadi pihak berhutang kepada perbankan yang harus membayar bunga obligasi
secara reguler kepada perbankan. Pemerintah berharap bahwa dengan obligasi
rekap tersebut, perbankan memiliki kemampuan untuk menyalurkan kredit kepada
masyarakat, membiayai operasional perusahaan, dan apabila telah beruntung dari
selisih spread (selisih bunga simpanan yang diterima dengan yang bunga pinjaman
yang disalurkan), pada waktunya perbankan akan mengembalikan Penyertaan Modal
Pemerintah. Namun dalam perjalanan waktu, ternyata penyertaan Pemerintah dalam
bentuk obligasi rekap justru menjadi menjerat Pemerintah. Pemerintah terikat
untuk membayar bunga obligasi secara reguler dan melunasinya ke perbankan yang
tercermin dalam beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap
tahun. Sebaliknya, bunga maupun cicilan obligasi rekap yang diperoleh perbankan
dari topangan APBN, justru dipergunakan tidak
sesuai peruntukannya untuk penyaluran ke masyarakat dalam fungsi
intermediaries perbankan. Dana segar yang diterima perbankan yang telah
menyalah gunakan BLBI, malah dilakukan penyalah gunaan kedua dengan
memanfaatkan dana segar tersebut untuk keperluan sendiri dan afiliasinya yang
tidak berkontribusi kepada penyehatan perbankan.
Permasalahan diatas adalah menyangkut permasalahan
tentang suatu kepastian hukum. Dibawa ke ranah manakah suatu sengketa obligasi
rekapitulasi itu? Karena kasus diatas tidak hanya murni kasus perdata saja,
namun mencakup tindak pidana. Lebih tepatnya penyelesaian sengketa yang manakah
yang mampu menjadikan solusi bagi kasus obligasi rekapitulasi BLBI ini?
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut tentu kita harus paham konsep – konsep hukum perdata, hukum
pidana, dan hukum pidana korupsi.
a.
Hukum Perdata
Hukum
perdata (burgerlijkrecht) adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan
menitik beratkan pada kepentingan perseorangan. Hukum perdata berisi
aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain
yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat
maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum
perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur
kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal
mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh
orang lain.
Hukum
perdata menganut asas kebebasan berkontrak yang terletak dalam buku III KUH
Perdata pada bagian 3 Tentang Akibat Suatu perjanjian. Asas ini termaktub dalam
pasal 1338 yakni “ Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya” Asas tersebut sampai pada tingkat tertentu
memberikan kebebasan (partij authonomij) kepada para pihak untuk merumuskan
kesepakatan apapun yang mengikat para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan
kepatutan dan kebiasaan, serta dilakukan
dengan itikad baik serta tidak mengandung cacat tersembunyi. Kebebasan para
pihak tersebut tidak akan mengikat bagi publik apabila ternyata bertentangan
dengan ketentuan perundang-undangan. Seperti yang termuat dalam pasal 1339 BW
yakni “ Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal – hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang – undang.”
Dalam doktrin keputusan hukum perdata berlaku
suatu asas yaitu bahwa suatu keputusan yang diambil dalam rangka pelaksanaan
tidak dapat dituntut sepanjang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, prudent,
dalam lingkungan kewenangannya serta tidak bertentangan dengan kaidah hukum
memaksa. Lingkup tugas manajemen dalam lingkup jabatannya yang harus dilakukan
dengan kejujuran dan ketekunan yang pantas, oleh Rai Widjaya dikenal dengan :
1. Tugas
yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duties, trust and confidence
2. Tugas yang berdasarkan kecakapan,
kehati-hatian dan ketekunan (duties of skill, care and diligence)
3. Tugas
yang berdasarkan ketentuan undang-undang (statutory duties)
Dalam dunia bisnis, pendekatan perdata
lebih dikedepankan daripada pendekatan pidana, sepanjang tingkat pelanggaran
dan kerugian yang diakibatkan suatu perbuatan tersebut masih dapat dikelola.
Ketika satu pihak melakukan tindakan yang merugikan pihak lainnya dalam hubungan
bisnis, maka akan diselesaikan dengan cara pemberian ganti rugi atau kompensasi
kepada pihak yang dirugikan, pola penyelesaian dengan sanksi perdata bertujuan
untuk melindungi kepentingan masing-masing pihak. Pendekatan perdata lebih
melihat kepada suatu pemulihan hubungan hukum dari akibat suatu kesalahan,
dikenal dengan pendekatan dengan konsep keadilan komutatif. Konsep keadilan
komutatif lebih banyak terdapat pada hubungan perikatan keperdataan, yang
mencari penyelesaian suatu sengketa dengan win-win solution biasanya melalui
lembaga arbitrase.
Dalam
kasus Terkait dengan kasus BLBI di atas, BUMN atau Badan Hukum lainnya yang
didirikan untuk kepentingan bisnis dalam beroperasinya adalah tunduk kepada
hukum perdata. Bahwa dalam kontrak bisnis adalah berlaku sebagai undang-undang
bagi para pihak seperti yang dicantumkan pasal 1338 BW. itikad baik dianggap
ada pada para pihak sampai terbukti sebaliknya, serta apabila suatu prestasi
yang diperjanjikan tidak dapat dipenuhi, maka akan dituntut wanprestasi dengan
berbagai alternatif untuk memenuhinya. Karena syarat adanya wanprestasi adalah
adanya suatu perjanjian terlebih dahulu. Wanprestasi dapat berupa tidak
melaksanakan apa yang diperjanjikan, melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak
sebagaimana mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat,
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pakar
hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan kewajiban
yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Pihak
yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian,
atau meminta ganti kerugian pada debitur.
Ganti
kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian
yang timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga. Pengertian bunga di sini
adalah hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan atau dibayangkan oleh
kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi.
Kewajiban
debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada saat dirinya
lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu yang disampaikan
oleh kreditur ke debitur (pasal 1238 jo Pasal 1243 KUHPerdata).
Jadi,
dalam hal ini maka obligator dapat dikenai wanprestasi karena hakikatnya
obligasi rekapitulasi termasuk dalam kaidah hutang – piutang, dimana para
peminjam uang tetap diharuskan membayar hutangnya dalam jangka waktu tertentu.
b.
Hukum Pidana
Dalam
memasuki ranah hukum pidana, Hukum
pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang
mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan-perbuatan yang
diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan berakibat
diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Di
Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda,
sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis
bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan
menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex
specialis)
Penyelesaian
sengketa dengan penjatuhan sanksi pidana tidak lain bertujuan untuk pencegahan
(Preventif) yaitu pencegahan terjadinya pelanggaran norma-norma. Tujuan lainnya ialah Social Control yaitu
fungsi hukum pidana di sini sebagai Subsidair. Diadakan apabila usaha-usaha
yang lain kurang memadai. Hal ini membedakan dengan hukum-hukum yang lain, dan
hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma
yang diakui dalam hukum. Dalam hal ini hukum pidana dianggap sebagai ultimum
remedium atau obat terakhir.
Doktrin hukum pidana yang dikenal secara
universal, yakni hukum pidana sebagai
ultimum remedium, artinya penggunaan
hukum pidana merupakan pilihan terakhir dalam mencegah dan menanggulangi
perilaku kriminal di dalam masyarakat. Penerapan ultimum remedium ini dapat
mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, mengingat sanksi pidana itu
keras dan tajam jadi selalu diusahakan menjadi pilihan terakhir setelah sanksi
lain dirasakan kurang. Namun memang dalam perkembangannya penerapan ultimum
remedium ini mengalami kendala-kendala karena apabila suatu perbuatan sudah
dianggap benar-benar merugikan kepentingan negara maupun rakyat baik menurut UU
yang berlaku maupun menurut perasaan sosiologis masyarakat, maka justru sanksi
pidanalah yang menjadi pilihan utama (premium remedium).
Apabila
terkaitpaut dengan kasus obligasi rekapitulasi diatas, maka dalam ranah hukum
pidana obligator yang tidak mampu membayar akan dikenakan pasal mengenai
penggelapan yakni pasal 372 KUHP bahwa barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam
karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
Kasus
obligasi rekapitulasi BLBI dapat dikenakan pasal 372 KUHP karena memenuhi unsur
– unsur :
1. Dengan
sengaja atau melawan hukum
Kasus tersebut jelas memenuhi unsur
ini, karena aliran dana dari obligasi rekapitulasi tidak digunakan sebagaimana
mestinya.
2. Memiliki
3. Barang
atau sesuatu
4. Yang
seleuruhnya atau sebagian
5. Adalah
kepunyaan orang lain
6. Tetapi
yang ada dalam kekuasaannya
7. Bukan
karena kejahatan
Unsur ke-2 sampai ke -6
diatas adalah dalam kasus obligasi rekapitulasi, terkait karena dalam obligasi
rekapitulasi, obligatur mempunyai suatu bentuk hutang terhadap penerbit obligasi
yakni pemerintah.
III.
PENUTUP dan KESIMPULAN
Telah
diuraian sedikit banyak mengenai kasus obligasi rekapitulasi dan konsep –
konsep hukum pidana maupun perdata untuk menganalisa kasus tersebut. menurut
pendapat saya, penyelesaian sengketa menurut hukum pidana-lah yang mampu memberikan solusi yang tepat dalam penyelesaian
sengketa diatas. Ditinjau dari ranah hukum perdata, kasus obligasi rekapitulasi
ini dapat dikenakan tuntutan wanprestasi, sehingga nantinya konsekuensi yuridis
dari gugatan wanprestasi kurang maksimal untuk mecapai keadilan. Apabila dibawa
ke ranah hukum pidan, yang memiliki
sifat ultimatum remedium, tetapi juga sifat hukum pidana yang berseberangan dengan
sifat hukum perdata (win – win solution) sifat hukum pidana adalah win loss solution.
Karena kerugian negara yang timbul dari sengketa ini sangat besar, dana
mencapai milyaran rupiah. Ultimatum remedium dari hukum pidana sendiri memberi
penyadaran pada pelaku kejahatan bisnis dan memulihkan kerugian akibat
kejahatan bisnis tersebut (ultimum remedium). Karena menurut pendapat saya,
efek jera dalam hukum pidanapun tidak mempunyai dampak yang sangat signifikan.
Pelaku pidana yakni para obligator harus disadarkan akan tindakan yang
dilakukannya serta akan menimbulkan rasa malu, itu lebih efektif dibanding efek
jera lalu kerugian negara dapat diganti.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( Burgelijk Wetboek)
2.
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
3.
Muhammad, Prof. Abdulkadir, S.H, Hukum
Dagang tentang Surat – Surat Berharga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007
6.
I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan,
Megapoin, Jakarta, 2007,
7.
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat
Melawan-Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang
Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, Alumni.